Written by Dr. Amir Faishol Fath
Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ayat ini menjelaskan secara khusus mengenai beberapa kualitas Nabi Yusuf alaihissalam yang sangat menentukan pada kepemimpinannya kelak setelah diangkat menjadi mentri keuangan di Mesir. Allah subhanahuu wata’alaa menjelaskan bahwa Nabi Yusuf tidak lahir secara tiba-tiba untuk menjadi pemimpin, melainkan jauh sebelum itu Allah telah membekalinya berbagai kemampuan. Secara ringkas bekal-bekal tersebut dirangkum dalam ayat di atas:
1. Mental Kedewasaan
Kata asyuddahu pada ayat di artikan dengan dewasa. Imam An Nasafi dalam tafsirnya berkata: maksudnya adalah muntahaa isti’daadi quwwatihii (puncak kematangan potensinya). Ini menunjukkan bahwa kedewasaan adalah bekal utama untuk mendapatkan mandat kepemimpinan. Mengapa? Sebab kepemimpinan adalah tugas yang penuh tantangan dan persoalan. Tidak cukup seseorang hanya berbekal harta. Banyak orang salah paham tentang hal ini, sehingga berkata: if you have money you can do every things (jika anda punya uang anda bisa berbuat apa saja). Pemahaman seperti ini hampir selalu menjadi model pada suksesi akhir-akhir ini. Karena itu banyak orang yang pinter dan cerdas bahkan mampu untuk memimpin, namun karena tidak punya uang, ia dianggap tidak layak.
Perhatikan ayat di atas, Allah SWT. tidak menekankan pentingnya uang dalam kepemimpinan, melainkan mental kedewasaan. Benar, kita membutuhkan pemimpin yang dewasa. Pemimpin yang benar-benar merasakan getaran tanggung jawab atas segala penderitaan rakyat. Mengapa? Sebab akhir-akhir ini kita mengalami krisis kepemimpinan. Terutama dari segi mental kedewasaan. Banyak para pemimpin yang tidak siap secara mental menerima amanah tersebut. Akibatnya, begitu mereka menjadi pemimpin malah terjatuh dalam keterlenaan dengan dosa-dosa. Harta haram menjadi konsumsinya yang paling pokok. Rakyat tidak diperhatikan. Sementara bisnisnya diutamakan. Banyak dari fasilitas negara hanya digunakan untuk kepentingan bisnis pribadinya.
Jika yang hadir dari para calonnya adalah para pemimpin yang bermental pecundang dan rakus, itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Bahkan lama kelamaan negara –bila terus dibawah seorang pemimpin yang tidak bertanggung jawab- akan mengalami kahancurannya. Dan rakyat akan terus menderita. Namun dalam hal ini tidak hanya pemimpinnya yang dituntut dewasa, melainkan juga rakyatnya. Di tengah rakyat yang tidak dewasa akan lahir pemimpin yang tidak dewasa pula. Banyak rakyat masih manja. Suaranya mau ditukar dengan sejumlah uang. Akibatnya kita selalu menemukan kendala dalam mencari sosok pemimpin yang dewasa. Dari sini nampak betapa penjelasan Allah di atas mengenai sosok Nabi Yusuf alaihissalam sebagai pribadi yang dewasa adalah sesuatu yang tidak mudah diabaikan begitu saja. Melainkan justru harus diutamakan di atas kriteria lain. Itulah rahasia mengapa Allah SWT. Menyebutkannya pada urutan pertama.
Banyak negeri yang gersang, padang sahara membentang, namun karena pemimpinnya dewasa dan bertanggung jawab, negeri itu menjadi sejahtera. Rakyatnya merasa aman di dalamnya. Keberkahan datang dari mana-mana. Itulah yang pernah terjadi pada zaman Umar bin Kahththab dan Umar bin Abdul Aziz. Dari sini nampak bahwa faktor pemimpin adalah faktor yang sangat menentukan. Sebaliknya banyak negeri yang subur, sungainya mengalir deras, lautnya penuh dengan kekayaan alam, namun karena kecerobohan pemimpinnya, negeri tersebut kehilangan keseimbangan. Banyak rakyatnya yang tidak bisa menikmati kekayaan buminya. Di sana-sini pemandangan orang-orang miskin bertebaran. Ini sungguh suatu fakta bahwa kedewasaan seorang pemimpin sangat menentukan masa depan sebuah negeri. Pemimpin yang pengecut akan membuat negerinya selalu tergantung kepada orang lain. Akibatnya seluruh kekayaan alamnya disedot oleh negara-negara lain. Sebaliknya pemimpin yang dewasa dan berani akan membuat negaranya berwibawa dan bermartabat. Kita sangat membutuhkan pemimpin yang dewasa seperti yang Allah gambarkan pada ayat di atas.
2. Hikmah
Kata hukaman pada ayat di atas artinya hikmah. Dalam Al Qur’an kata hikmah sering diartikan sebagai sikap bijak. Lawan kata dari emosional. Tidak asal-asalan. Melainkan bertindak dengan penuh pemahaman. Dalam surah An Nahl: 125, Allah SWT. Memerintahkan kepada kita agar berdakwah dengan hikmah, maksudnya dengan bijak dan penuh pemahaman. Demikian juga dalam dunia kepemimpinan, sikap penuh hikmah sangatlah dibutuhkan. Banyak tujuan mulia bagi sebuah negara menjadi hancur hanya kerena sang pemimpin tidak mempunyai sikap bijak. Karena itu sikap bijak bagi seorang pemimpin adalah suatu keniscayaan.
Umar bin Khaththab dalam kepemimpinan banyak mempunyai ilustrasi tentang hakikat hikmah ini. Ambillah misalnya di malam itu, Umar pernah keliling melihat kondisi rakyatnya sempai jauh ke pelosok negeri. Ketika menemui seorang ibu sedang memasak batu, untuk menghibur anaknya yang kelaparan, Umar dengan bijak segera mengambil tindakan. Di malam itu pula Umar langsung mengambil harta sedekah, lalu diberikan kepada ibu tersebut. Tidak hanya itu, Umar sempat memasakkan makanan baginya sampai semuanya kenyang. Ini sungguh suatu gambaran sikap yang sangat penuh dengan hikmah. Bayangkan ilustrasi ini, bisakah akan berulang kembali pada kepemimpinan saat ini? Pemimpin yang mana yang bersedia menggendong sendiri gandum untuk dibagikan kepada fakir miskin? Kalaupun ada pemimpin yang demikian, ia tidak akan menggendong sendiri, paling tidak ia akan memerintahkan stafnya. Kok, akan pemimpin sebuah negara, pemimpin desa saja, mereka main perintah. Sungguh sangat sulit untuk menemukan saat ini sosok pemimpin yang penuh hikmah itu.
Dari sini kita tahu betapa kriteria ini sangat penting dimiliki seorang pemimpin. Mengapa? Sebab bebbagai permasalahan di tengah rakyat akan selalu datang silih berganti. Di sini sakit lalu di sana kelaparan. Begitu seterusnya. Maka tidak mungkin bisa menyelesaikan semua ini secara detil dan sempurna tanpa ditangani oleh seorang pemimpin yang bijak. Contoh lain dari sikap bijak Umar dalam pemimpin adalah ketika Umar membagi-bagi harta sedekah, tiba-tiba Ibn Umar datang meminta haknya, namun Umar segera menepisnya, bahwa tidak akan memberikan kepadanya sampai semua rakyatnya kebagian. Ini sungguh sikap yang sangat sulit dalam dunia kepemimpinan. Banyak para pemimpin yang terjatuh dalam perangkap nepotisme. Kerabatnya selalu diutamakan di atas rakyatnya. Namun Umar tidak demikian. Umar malah berkata kepada keluarganya, siapa di antara kalian yang melanggar hukum, akan dilipatgandakan hukumannya. Inilah contoh pribadi pemimpin yang bijak, di mana pada zaman sekarang kita sangat sulit menemukan contohnya.
3. Ilmu
Dalam ayat di atas Allah swt. menjelaskan bahwa Nabi Yusuf as. dibekali ilmu oleh Allah SWT. Ilmu tauhid yaitu ilmu yang dengannya tertanam kesadaran kehambaan hanya kepada Allah SWT. Sebab tanpa ilmu ini pemimpin akan cenderung menjadi sombong. Ia mudah merasa dirinya tinggi, dan tidak ada yang menandinginya. Munculnya pribadi seperti Fir’un yang mengaku Tuhan, adalah karena ia tidak memiliki ilmu tauhid. Beriman kepada tauhid adalah suatu keharusan bagi seorang pemimpin. Berbagai kedzaliman terhadap kemanusiaan di muka bumi adalah karena kosongnya iman terhadap tauhid dalam diri mereka. Karena itu ketika Allah SWT menekankan tentang ilmu dalam ayat di atas, maksudnya adalah ilmu iman kepada Allah. Dengan kata lain adalah ilmu tauhid.
Pemimpin yang bertauhid akan selalu ingat bahwa di atasnya ada Allah yang kelak akan meminta kepadanya pertanggungjawaban. Maka ia selalu berhati-hati dari perbuatan dzalim. Karena tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Dan tidak ada kekuatan yang bisa menandingiNya. Nabi Yusuf as. secara mendalam mempunyai kesadaran ini. Karena itu selama di penjara Nabi Yusuf as. selalu berdakwah kepada tauhid. Setiap ucapannya kepada para nara pidana yang lain selalu mengingatkan kepada hakikat Tauhid. Dan kualitas ini semakin nampak ketika nabi Yusuf memegang jabatan sebagai mentri keuangan. Negara Mesir benar-benar bersih dari penyelewengan dan korupsi. Buah dari kebersihan ini Mesir pada zaman itu tidak mengalami krisis sekalipun semua negeri disekitarnya benar-benar dalam krisis yang mencekam.
Perhatikan betapa ilmu tauhid telah mengantarkan Nabi Yusuf menjadi pemimpin yang menyelamatkan negara. Mesir di bawah kepemimpinan Nabi Yusuf tidak hanya sejahtera melainkan juga mampu mensuplai makanan ke luar wilayahnya termasuk ke Palestina. Dari sini jelas bahwa mengapa Allah SWT. membekali ilmu tauhid kepada nabi Yusuf as. Ilmu tauhid inilah yang membuat Umar bin Khaththab selalu menangis sekalipun rakyatnya sejahtera. Menangis karena Umar takut ditanya Allah kelak tentang seekor kuda yang jatuh karena sebagian jalan ada berlubang. Perhatikan tanggung jawab pemimpin yang bertauhid tidak hanya mencakup wilayah kemanusiaan melainkan juga setiap binatang yang terdapat di negeri itu akan juga dimintai pertanggungjawaban.
4. Semangat Ihsan
Pada penutup ayat di atas, Allah SWT. berfirman: wakadzaalika najzil muhsiniin. Imam An Nasafi berkata, bahwa ayat ini menunjukkan kesungguhan Nabi Yusuf dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Ihsan maksudnya adalah seperti yang Rasulullah SAW. jelaskan: anta’budallaha kaanka taraahu faillam takun taraahu fainnahuu yaraaka (hendaklah kamu menyembah Allah sekan-akan melihatnya, bila tidak bisa melihatnya sesungguhnya Allah melihatmu). Berdasarkan hadits ini ihsan artinya merasa dikontrol oleh Allah. Bahwa seorang yang merasa dikontrol oleh Allah tidak mungkin berbuat bejat. Lebih-lebih dia seorang pemimpin, maka ia akan sungguh-sungguh dan maksimal menjalankan kewajibannya. Pemimpin yang ihsan, tidak melihat jabatan kepemimpinan sebagai kemulyaan, melainkan sebagai beban yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan.
Pemimpin yang ihsan tidak akan pernah main-main, melainkan akan menganggap segala waktu dan tugasnya penuh konsekuensi di dunia maupun di akhirat. Di antara makna ihsan adalah tidak setengah-setengah, melainkan sepenuh hati dalam menjalankan kewajiban kepemimpinan. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diberi gelar ihsan oleh Allah setelah dengan jujur dan maksimal melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putra yang disayangi pun nabi Ismail siap menerima dengan lapang dada perintah tersebut. Inilah hakikat ihsan dalam menghambakan diri kepada Allah. Maka apapun posisi seseorang di dunia, baik sebagai rakyat piasa apalagi sebagi khalifah, ia harus selalu hidup dalam kerangka kehambaan secara ihsan.
Ambil contoh Abu Bakar Ash Shiddiq, selama menjadi khalifah, selalu menggunakan apa yang dia punya untuk kemaslahatan rakyatnya. Pernah Abu Bakar membeli kain-kain di daerah yang jauh. Lalu kain-kain itu dibagi-bagikan kepada para janda untuk dijadikan selimut di musim dingin. Diriwayatkan juga bahwa Umar pernah keliling mengunjungi rumah-rumah oarng yang tua renta untuk membantu mereka. Setiap kali Umar mendatangi mereka, Umar selalu menemukan bahwa kebutuhan mereka telah tersedia disana. Umar ingin mencari tahu siapakah gerangan yang mendahuluinya menyediakan kebutuhan mereka. Ketika Umar intai, ternyata Abu Bakar yang selalu mendahuluinya menyediakan kebutuhan mereka. Suatu kepemimpinan yang ihsan, yang harus dimiliki oleh setiap pmimpin di mana saja dan kapan saja. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : http://majalahtatsqif.com/index.php?option=com_content&view=article&id=66:dr-amir-faishol-fath&catid=39:tafsir&Itemid=80
Home »Unlabelled » Memimpin Dengan Ilmu
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar