وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ
إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
.Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
Ayat ini menurut Imam Ar-Razi mengandung seluruh yang dibutuhkan seorang mukmin baik mengenai agama, dunia, kehidupan, dan akhiratnya. Dari susunan kata dalam ayat tergambar dua hal: di satu sisi tampak nada targhib (dorongan) bagi orang-orang yang taat, dan di sisi lain nampak nada tarhib (ancaman) bagi orang-orang yang berbuat maksiat. Maksudnya, bersungguh-sungguhlah kamu untuk berbuat sesuatu demi masa depanmu karena segala perbuatanmu akan mendapatkan haknya di dunia maupun di akhirat. Di dunia perbuatan tersebut akan disaksikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Jika berupa ketaatan, ia akan mendapatkan pujian dan pahala yang besar di dunia dan akhirat. Namun, jika berupa kemaksiatan ia akan mendapatkan hinaan di dunia dan siksaan yang pedih di akhirat. (Imam Ar-Razi. Mafatihul ghaib. Bairut, Darul fikr, 1994, vol. 16, h. 192).
Syeikh Rasyid Ridha dalam tafsirnya Al-Manar menerangkan makna ayat tersebut begini: Wahai Nabi, katakan kepada mereka bekerjalah untuk dunia, akhirat, diri dan umatmu. Karena yang akan dinilai adalah pekerjaanmu, bukan alasan yang dicari-cari; pun bukan pengakuan bahwa Anda telah berusaha secara maksimal. Kebaikan dunia dan akhirat pada hakikat tergantung pada perbuatan Anda. Allah mengetahui sekecil apapun dari perbuatan tersebut, maka Allah menyaksikan apa yang Anda lakukan dari kebaikan maupun keburukan. Karenanya, Anda harus senantiasa waspada akan kesaksian Allah, baik itu berupa amal maupun berupa niat, tidak ada yang terlewatkan. Semuanya tampak bagi-Nya. Oleh sebab itu Anda harus senantiasa menyempurnakannya (itqan), ikhlas, dan mengikuti petunjuk-Nya dalam menjalankan ketaatan sekecil apapun (lihat, Rasyid Ridha. Tafsir Al Manar. Tanpa tahun, vol. 11, h. 33).
Pada intinya, ayat di atas menegaskan pentingnya beramal. Bahwa, yang akan menjadi tolok ukur keselamatan seseorang di dunia maupun di akhirat bukan semata konsep yang ia hafal, melainkan sejauh mana ia mampu mengamalkan teori yang telah diketahuinya. Al-Qur’an malah mengecam seorang yang hanya pandai ngomong tapi tidak mengerjakannya (Ash-Shaf: 2-3). Rasulullah saw. bukanlah sosok yang hanya pandai memberi nasihat, melainkan seluruh amalnya merupakan nasihat. Siti Aisyah ketika ditanya bagaimana akhlak Rasulullah saw., ia menjawab bahwa akhlaknya adalah Al-Qur’an. (HR. Ahmad, no. 216).
Amal Sebagai Inti Keimanan
Kalimat wa quli’malu adalah perintah. Ini berarti keharusan untuk beramal. Akidah tanpa amal akan menjadi kering, karena amal bagi akidah ibarat air bagi sebuah pohon. Pernyataan para ulama bahwa iman naik turun (yaziidu wayanqus) maksudnya ia naik dengan amal shalih dan turun dengan kemaksiatan. Cermin akidah ada diri seseorang adalah amal yang ia lakukan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang selalu menggabung antara iman dan amal: Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran (Al-Ashr: 2-3, lihat juga Al-Bawarah: 62 dan Al-Maidah: 69).
Dalam Surat Al-Mu’minun ayat 1-10, Allah menyebutkan tanda-tanda seorang yang beriman dengan amalnya: Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, menunaikan zakat, menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, serta memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.
Rasulullah saw. seringkali menyebutkan tanda-tanda keimanan dengan amal. Anas r.a. meriwayatkan Rasulullah bersabda: “Seorang tidak disebut beriman sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari, no. 13). Imam Bukhari dalam buku Sahihnya menulis judul khusus: Bab man qaala innal iman huwal amal (orang yang mengatakan iman adalah amal), di dalamnya ia menyebutkan ayat Az-Zukhruf: 72 dan hadits riwayat Abu Hurairah: bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, perbuatan apa yang paling utama. Beliau berkata: “Iman kepada Allah dan RasulNya.” Kemudian apa? “Jihad di jalan Allah.” Kemudian apa? “Haji mabrur.” (HR. Bukhari, no. 26).
Ketika menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya seorang muslim, Rasulullah tidak hanya menggambarkan hal-hal yang berkenaan dengan ibadah mahdlah (ritual), melainkan banyak hal yang berkaitan langsung dengan amal sosial. Ibn Amr meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Seorang muslim adalah yang tidak menyakiti orang muslim lainnya dengan lidahnya dan tangannya, dan seorang muhajir adalah yang hijrah dari larangan Allah swt.” (HR Bukahri, no. 10). Dalam sebuah peristiwa diceritakan bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai apa yang terbaik dalam ber-Islam? Rasulullah menjawab: “Kau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang lain, baik kamu kenal maupun tidak.” (HR Bukhari, no. 12).
Amal Sebagai Bukti Kepribadian
Pada kalimat berikutnya Allah berfirman: fasayarallah alamakum, tidak ada sekecil apapun dari yang Anda lakukan kecuali akan mendapatkan balasannya. Tidak ada kata yang terucap dari lidah Anda, kecuali terekam secara lengkap: mayalfidzu minqaulin illa ladaihi raqiibun atiid. Lebih kecil dari atom pun amal Anda akan tetap menjadi kredit poin dari perjalanan hidup Anda. Bila perbuatan itu baik, simpanan amal baik Anda di akhirat akan bertambah. Dan, bila perbuatan Anda jelek, simpanan amal Anda akan jelek. Famayya’mal mittsqaal dzarratiin khairan yarah, wamayya’mal mitqaala dzarratin syarrayarah. Jadi, pribadi Anda hanya ditentukan oleh kedua pilihan ini: bila Snda salah memilih, Anda akan sengsara selama-lamanya. Tapi, bila pilhan Anda benar, Anda akan selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Itulah makna doa yang selalu Anda panjatkan: “rabbanaa aatina fidunya hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa adzaabannaar.“(Al-Baqarah: 201).
Dengan menyadari hakikat ini, bila Anda melakukan kebaikan, Anda tidak akan risau, sekalipun tidak ada seorang pun yang memuji Anda. Bagi Anda berbuat baik adalah cicilan membangun kebahagiaan akhirat. Apapun bentuk kebaikan tersebut. Kecil maupun besar, tampak hina di depan mata manusia atau tidak, dalam kesunyian maupun di tengah keramaian, menghasilkan uang atau tidak. Pribadi Anda selalu tampak istiqamah, tidak berwarna-warnai. Popularitas bukan ukuran, karena hakikat fasayarallah amalakum telah terpatri sedemikian kuat dalam keyakinan Anda. Bila jalan ini yang Anda pilih, Anda akan selalu produktif. Simpanan pahala Anda akan selalu bertambah. Dan hidup Anda akan selalu tenang, karena tabiat pahala tidak akan pernah mengantarkan Anda kecuali kepada ketenangan hidup. Dari sisi ini tampak apa yang dikatakan Imam Ar-Razi bahwa ayat ini merupakan targhiib (pendorong) bagi orang-orang yang taat kepada Allah untuk senantiasa beramal dan terus beramal.
Namun, bila Anda melakukan keburukan, Allah juga akan menyaksikannya, fasayarallahu amalakum. Perlu digarisbawahi di sini bahwa keburukan dalam terminologi Islam tidak hanya identik dengan perzinaan, mabuk-mabukan, pencurian, korupsi, dan lain sebagainya, melainkan wudhu’ Anda yang tidak sempurna, shalat Anda yang asal-asalan itu juga kemaksiatan. Di Hari Kiamat kaki yang tidak dibasuh secara lengkap ketika berwudlu’ akan masuk neraka (HR Bukhari, no. 165). Shalat yang tidak sempurna bacaan dan gerakannya, tidak dianggap shalat. Rasulullah saw. pernah menyuruh sahabatnya untuk shalat lagi karena sebagian gerakannya tidak sempurna (HR. Bukhari, no. 757).
Dalam berdakwah pun jika Anda tidak melakukannya dengan penuh kesungguhan (baca: asal-asalan), itu juga kemaksiatan. Mengapa Anda berbuat untuk Allah asal-asalan? Perhatikan, Allah senantiasa mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada di bumi dan langit dari ciptaan-Nya yang dibuat dengan main-main. Semua Allah tegakkan dengan penuh kesempurnaan. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah (Al-Mulk: 3-4).
Dari sini tampak bahwa bahwa ayat ini mengandung tarahiib (ancaman) bagi orang-orang yang tidak mentaati Allah sebagaimana mestinya. Az-Zamakhsyari berkata: ayat ini merupakan ancaman bagi mereka sekaligus peringatan akan akibat yang harus mereka jalani jika terus menerus bergelimang dalam kemaksiatan (lihat, Az Zamakhsyari, al kasysyaaf (Mansyratul balaghah) vol. 2, h. 308).
Lalu mengapa Allah menambahkan setelahnya kalimat warasuluhu wal mu’minun (bukankah sudah cukup dengan kesaksian Allah)? Imam Ar-Razi mengutip jawaban Abu Muslim, “Rasulullah dan orang-orang mukmin adalah saksi yang Allah pilih.” Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (Al-Baqarah: 143). Dalam ayat lain fakaifa idzaa ji’na min kulli ummatin bisyahiid waji’na bika alaa haaulaai syahiida (An-Nisa: 41) (lihat. Imam Ar Razi, mafatiihul ghaib: vol. 16, h. 194).
Dalam riwayat Anas r.a. diceritakan: Pernah suatu hari sebuah jenazah dibawa melewati sekelompok para sahabat Rasulullah saw, melihat itu mereka menyebutkan kebaikan si mayit, Nabi menjawab: wajib. Setelah itu mayit yang lain lagi dibawa. Para sahabat yang melihatnya tidak memujinya, bahkan menilainya tidak baik. Nabi menjawab: wajib. Umar lalu bertanya: Apa maksud dari pernyataan wajib yang diucapkan Nabi? Nabi menjawab: mayit pertama yang kamu sebut kebaikannya wajib masuk surga, sementara mayit kedua yang kamu sebut keburukannya wajib masuk neraka. Kamu semua adalah saksi Allah di bumi. (HR. Bukhari, no. 181, Muslim, no. 949).
Iklash Dasar Segala Amal
Kalimat berikutnya berbunyi: wasaturadduun ilaa aalimil ghaib wasy syahadah. Ibn Abbas mengatakan, al ghaib yang dirahasiakan, dikerjakan secara sembunyi-sembunyi; dan asy-syahadah yang dikerjakan secara terang-terangan. Imam Ar-Razi berkata: al ghaib bisa dimaksudkan segala yang terbetik dalam hati, berupa niat baik atau buruk, dan asy-syahadah adalah segala perbuatan yang diragakan (lihat Imam Ar Razi, mafaatihul ghaib, vol. 16, h. 194). Dari sini tampak bahwa setiap perbuatan harus senantiasa serasi antara niat dan tingkah laku. Hilangnya keserasian ini akan melahirkan ketimpangan, kalau tidak dikatakan sia-sia sama sekali. Bila direnungkan secara mendalam, paduan utuh antara fasayarallahu amalakum dan kalimat sesudahnya wasaturadduun ilaa aalimil ghaib wasy syahadah, maka akan tergambar bahwa niat sebagai pengantar setiap perbuatan harus karena Allah dan untuk semata mencapai ridha-Nya. Karena, Dia-lah yang akan menilainya.
Dengan demikian tampak bahwa setiap perbuatan terdiri dari dua unsur: niat yang mengantarkan dan perbuatan yang diragakan. Niat saja tidak cukup, melainkan harus tercermin dalam perbuatan. Perbuatan pun harus sesuai dengan petunjuk-Nya, bukan karangan akalnya sendiri. Perbuatan apa pun yang tidak sesuai dengan petunjuk-Nya (baca: kemaksiatan) sekalipun dihantarkan dengan niat yang ikhlas juga tidak akan diterima di sisinya. Sebaliknya, perbuatan yang benar secara syariah, tapi niat yang mengantarkannya tidak ikhlas, juga akan menggiring pada kecelakaan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah menyebutkan tiga orang yang sama-sama melakukan perbuatan baik secara dzahir, tetapi karena niatnya salah akhirnya ketiganya sama-sama masuk neraka: pertama, seorang berperang di jalan Allah dengan niat supaya dibilang pemberani; kedua, seorang mengajarkan Al-Qur’an supaya dibilang alim; ketiga, seorang menginfakkan hartanya supaya dibilang dermawan (lihat Sahih Muslim, no. 1514). Ustadz Sayed Quthub mengatakan: Islam adalah manhaj yang realistis, gelora niat dan semangat tidak akan berdampak apa-apa sepanjang tidak diterjemahkan dalam gerakan nyata. Memang, diakui bahwa niat yang baik mempunyai posisi tertentu dalam Islam. Yetapi niat saja belum cukup untuk membangun pahala, sebab ia akan dihitung setelah tercermin dalam bentuk perbuatan. Begitu perbuatan muncul, di sini peranan niat menentukan kualitasnya. Inilah makna hadits: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya.” Perhatikan, dalam hadits ini perbuatan digabung dengan niat, bukan niat saja. (Sayed Quthub. Fii dzilalil Qur’an. Bairut, Darusy syuruq, 1985, vol. 3, h. 1709).
Keikhlasan (sihhatun niyah) dan benarnya perbuatan (sihhatul amal) adalah inti utama yang sangat menentukan. Keduanya adalah cerminan dari seluruh rangkaian kata dan kalimat dalam ayat di atas. Ibarat dua sayap bagi burung, ikhlas dan kebenaran amal akan mengantarkan pelakunya kepada tujuan yang didambakan. Sudah barang tentu seekor burung tidak akan bisa terbang hanya dengan satu sayap. Perhatikan bagaimana Allah mengancam seorang yang shalat –padahal shalat adalah ibadah yang sangat mulia dan utama dalam Islam– hanya karena niatnya salah. Allah berfirman: Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 4-7).
Amal Yang Terus Menerus
Kalimat demi kalimat dari ayat di atas, bila dipahami secara utuh dan benar akan melahirkan sikap sebagai berikut:
1. Kesadaran akan makna hidup yang Allah jatahkan hanya untuk beramal shalih. Bila orang mengatakan “waktu adalah uang”, bagi seorang muslim “waktu adalah amal shalih”. Karena, hidup akan menjadi hampa dan sia-sia bila tidak diisi dengan amal shalih.
2. Amal shalih maksudnya adalah amal yang dilakukan dengan niat yang ikhlas sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Inilah prinsip yang dibangun dari ayat: fasayarallahu amalakum warasululuh wal mukminuun.
3. Dari prinsip tersebut akan tercermin amal yang terus mengalir. Tidak pernah berhenti. Karena, ia tahu tidak ada sekecil apapun dari perbuatannya kecuali terekam secara utuh dan dikembalikan kepada Allah alimul ghaibi wasy syahadah sesuai dengan bentuk dan kualitasnya. Tidak ada yang tertinggal. Semuanya akan mendapatkan balasan yang setimpal.
4. Inilah makna dari ayat penutup fayunabbiukum bimaa kuntum ta’lamuun, Allah tahu segala apa yang kamu lakukan, maka Ia akan memberikan balasan sesuai dengan haknya, tidak ada yang dizhalimi.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/keharusan-beramal/
Share
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar