Membina Kepribadian Islami, Menuju Masyarakat Madani

Bookmark and Share

Membina Kepribadian Islami, Menuju Masyarakat Madani[1]

(Sudut Pandang Dr. Abdul Halim Mahmud

dalam bukunya Minhaj al-Islâh al-Islâmi fi al-Mujtama’)

Prolog

Ketika wacana reformasi menjadi wacana yang hangat dalam komunitas kita (umat Islam), maka pandangan mayoritas kita akan tertuju ke Barat sebagai cermin kemajuan. Barat—sebagai peradaban baru yang mulai menghegemoni dunia sekitar 5-6 abad yang lalu—menjadi kiblat utama bagi umat Islam untuk mereformasi dan merekonstruksi bangunan peradaban yang dulu pernah jaya. Maka, metodologi dan wacana seputar reformasi yang beredar di Barat, menjadi isu dan kajian utama di kalangan umat Islam.

Padahal, kondisi sosial, ideologi, tradisi dan perbedaan titik tolak peradaban antara Islam-Barat bisa menjadi kendala dalam tataran “kontekstualisasi-aplikatif”nya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap peradaban baru (Barat) tersebut?[2]

Secara global, Abdul Halim Mahmud (selanjutnya disebut AHM) memaparkan tiga paradigma yang muncul. (1) Menerima bulat-bulat. (2) Menolak mentah-mentah. (3) Menerima “peradaban material”nya (al-Hadlârah al-Mâdiyah), mengambil yang baik dari budaya berpikir (al-Hadlârah al-Nâdzariyah) mereka. Bagi AHM, ketiga pendapat di atas mempunyai kelemahan yang tidak memungkinkan untuk dipakai atau diikuti. Untuk yang pertama, ia mengatakan hal tidak mungkin, karena banyak sekali elemen dan bagian dari peradaban Barat yang menyimpang dari dasar ajaran Islam (walaupun selanjutnya dia tidak mendiskripsikan bagian yang dimaksud). Resistensi terhadap pendapat kedua muncul, karena sampai saat ini tidak ada seorangpun, satu masyarakatpun, atau bahkan negara manapun, yang tidak berinteraksi dan mengambil faedah dari peradaban Barat. Untuk paradigma ketiga, ia mengajukan pertanyaan sekaligus meragukan: Apa yang dimaksud dengan ‘baik’, dan standar siapa yang dipakai dalam menentukan kebaikan tersebut? Menurutnya, standar kebaikan tidak akan sama bagi lain orang, selama kerangka berpikir yang dipakai adalah rasionalitas.

Maka, sebagai penawaran alternatif, AHM membagi peradaban Barat ke dalam dua sisi; material (al-Qism al-Mâdî) dan spiritual (al-Qism al-Rûhî). Yang dimaksud sisi material adalah semua produk peradaban Barat yang dihasilkan melalui metode induktif, dan alam semesta sebagai objek kajiannya.[3] Sisi ini bebas nilai dan merupakan kebenaran bersama. Tidak ada embel-embel ideologis di dalamnya. Sedangkan sisi spritual adalah wilayah teologi, moral dan syari’ah. Sisi inilah sebenarnya yang banyak membentuk identitas suatu komunitas masyarakat, memberi warna dan memperjelas kepribadiannya.

Bertolak dari paparan di atas, AHM mengajak kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam (al-‘Audah ila al-Islam), memahaminya secara mendasar dan mengamalkannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas identitas dan memperkokoh kepribadian muslim, hingga nantinya terbentuk sebuah masyarakat madani.

Penyerahan Diri

Kepribadian Islami adalah hasil sebuah proses, harus diperjuangkan, bukan fitrah yang hadir sejak lahir. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sejauh mana seorang muslim memahami dam menyelami esensi ajaran Islam.

Menurut Ibnu al-Anbâri (328 H.), kata ‘muslim’ secara terminologi berarti “Orang yang ikhlas beribadah kepada Tuhan.”[4] Islam adalah agama universal, baik ditinjau dari struktur bahasa, ataupun substansi makna yang terkandung. Islam tidak merujuk pada orang tertentu, seperti halnya agama Budha; Tidak terfokus pada masyarakat tertentu, seperti agama Yahudi; tidak terkait dengan daerah tertentu, seperti adanya agama Nasrani (Kristen); tidak juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an berkata: “Dan Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam” (lihat juga Q.S al-Anbiyâ: 25, ali Imran: 67, Yunus: 72).

Kepasrahan diri kepada Allah ini, ketika tertanam dalam diri seorang muslim, maka berarti ajaran tauhid sudah mengkristal dalam jiwanya. Karena dalam keyakinan AHM, kepasrahan diri pada Allah, tauhid dan Islam adalah tiga terma yang saling terkait dan punya arti yang sama. Untuk lebih jelasnya simak beberapa ayat berikut:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya, dari mereka yang menyerahkan dirinya kepada Allah semata” (al-Nisâ’: 125)

“Barang siapa yang Allah berkehendak untuk memberikan hidayah kepadanya, maka Allah akan melapangkan dadanya untuk Islam” (al-An‘âm: 125)

“Dan barang siapa menjadikan agama, selain Islam, maka tidak akan diterima (di sisi Allah), dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat” (Ali Imran: 85)

Selanjutnya untuk memudahkan aplikasi dan realisasi praktek keislaman, AHM menjadikan Muhammad Saw. Sebagai tauladan dan cermin utama bagi masyarakat muslim. Ajaran, nilai dan identitas Islam dapat kita temukan dalam diri Muhammad. Aisyah r.a. berkata: “Akhlaqnya (Muhammad) adalah al-Qur’an.” Dan Allah berfirman: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlaq yang mulia” (Q.S al-Qalam: 04).

Muhammad adalah stereotipe muslim integral, yang ‘shalatnya, ibadahnya, hidup dan matinya hanya untuk Allah semata’. Nah, untuk mencapai hal itu, apa yang seyogyanya menjadi landasan masyarakat muslim?

Dari Teori Menuju Aksi

Ada dua landasan untuk membentuk kepribadian Islami; ilmu dan ibadah. Keduanya saling berhubungan. Dengan kata lain, ilmu sebagai proses mencari kebenaran—yang banyak sekali kita temukan landasan teksnya dalan al-Qur’an—merupakan amal ibadah juga. Dan ibadah—sebagai tujuan utama terciptanya manusia (al-Dzariyât: 56)—tidak bisa lepas dari peran ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin kokoh ‘penghargaan’ dia kepada Tuhan. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, di antara hamba-hambaNya adalah mereka yang punya ilmu.”

Teks-teks al-Qur’an yang begitu kaya dengan anjuran, motivasi dan spirit untuk penerapan ilmu, menemukan realitasnya pada diri cendikiawan klasik yang memahami betul kandungan teks tersebut. Ini bisa kita lihat pada Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Ibnu Haitsam dengan meteorologinya, Al-Khuwarizmi dengan matematikanya, Ibnu Khaldun dengan sosiologinya, dan lain sebagainya. Hal ini juga diperkuat oleh kesadaran bahwa eksprimen keilmuan itu adalah beribadah.

Pada dataran selanjutnya, spirit ini ditranmisikan ke Eropa melalui peradaban Andalusia, sehingga melahirkan abad pencerahan (renaissance). Dahsyatnya, perkembangan begitu pesat terjadi, yang titik akhirnya adalah lahirnya industrialisasi, teknologi dan era baru sains di Eropa. Ironisnya, Islam yang mengaku sebagai “penyumbang saham” terhadap kemajuan tersebut, justru masih ‘berlari-lari di tempat’ dan tertinggal jauh di belakang.

Maka, perlu adanya re-kristalisasi ajaran dan nilai Islam dalam dinamika jiwa dan kehidupan bermasyarakat. Jika itu terjadi, akan muncul ‘fenomena baru’ dalam kepribadian mereka; jihad[5] dan kasih sayang (rahmat).

Jihad dalam Islam akan menemukan urgensinya, ketika kita sadari bahwa dakwah Islam adalah sebuah keharusan. Ajaran Islam itu universal, dan harus disebarluaskan. Amar ma’ruf nahi munkar hanya sekedar bagian kecil dari jihad, bukan segalanya. Jihad adalah media yang elastis dan felksibel, yang bisa dikondisikan sesuai dengan situasi sebuah masyarakat; bagi penguasa, jihad bisa berarti policy; bagi intelektual, jihad bisa diartikan mendidik; bagi kaum lemah, jihad bisa direalisasikan dalam bentuk ‘pengingkaran hati’; bagi kita, jihad bisa bermakna ‘belajar tanpa henti’.

Jika dalam pandangan beberapa kalangan (baik muslim maupun non-muslim) jihad lebih sering nampak dalam wajah kekerasan[6], ini bisa dikanter dengan sikap kasih sayang (rahmat), sehingga terjalin balance yang harmonis.

Kasih sayang adalah esensi sekaligus tujuan. Al-Qur’an berkata: “wamâ Arsalnâka illa Rahmatan li al-‘Alamîn” Dan Rasulullah bersabda: “Irhamû man fi al-Ardl, Yarhamkum man fi al-Samâ’” Seperti halnya jihad, rahmat bisa diapresiasikan dalam berbagai bentuk; dari Tuhan, rahmat bisa berupa ‘perhatian material’ kepada makhluqnya; dari seorang ibu, rahmat bisa berarti ‘belaian sepanjang hari’ bagi anaknya; dari tetangga ke tetangga, rahmat boleh jadi adalah menghargai dan saling menghormati; dll.

Epilog

Membangun masyarakat madani akan tercapai dengan dua dasar utama: Ilmu dan iman (ibadah). Mereformasi kepribadian muslim berarti menanamkan nilai-nilai Islam secara utuh dan integral dalam individu dan masyarakat. Jika ada kesadaran dan kemauan, insyaallah hal itu akan terwujud. “Katakanlah: “Inilah jalanku! Aku mengajak kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya, aku dan orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.S Yusuf: 108)

Haiten/Kota kemenangan/Kairo



[1] Wacana tentang masyarakat madani, walaupun istilah 'resmi'nya bisa dibilang masih baru, tetapi konsepnya dapat dikatakan sudah lama. Cak Nur sering menyebut masyarakat Madinah di masa Nabi sebagai gambaran ideal masyarakat madani. Istilah ini mula-mula dimaksudkan sebagai pengganti istilah 'masyarakat sipil' yang merupakan padanan 'civil society' dalam bahasa Inggris.

Isu masyarakat madani adalah isu kelas menengah, yang merupakan akibat langsung daripada pertumbuhan pesat ekonomi kawasan Pasifik, khususnya juga di Indonesia, dalam dua dasawarsa menjelang "krismon". Maka, kelas menengah di Indonesia berkembang amat pesat. Dan inilah yang menimbulkan ketimpangan dalam struktur politik. Walaupun cara pemerintahan otoriter gaya Orde Baru kemarin itu turut memungkinkan pertumbuhan ekonomi itu, tetapi kemunculan kesadaran baru kelas menengah ini merupakan penentang paling kuat dari segala bentuk pemerintahan otoriter. (Waruno, 1999)

[2] Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lihat “Globalisasi dan Peradaban Islam: Rancang Bangun Peradaban Islam” dan artikel lainnya tentang globalisasi dalam buku “Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban” cet. I, FOSGAMA:2002.

[3] Di sini, AHM mengembalikan segala bentuk kemajuan Barat kepada jasa para cendikiawan muslim masa lalu, seperti Al-Farabi, Ibnu Ruyd, Ibnu sina, Ibnu Haitsam, Al-Kindi dan lain-lain, serta mengatakan bahwa semua itu adalah “hutang budaya” bagi peradaban Barat.

[4] Sekilas ada kesamaan dengan teologi inklusif Cak Nur. Tapi, bila kita lacak lebih jauh, ujung-ujungnya jauh sekali berbeda. Karena Cak Nur memakai pendekatan universal-inklusif, sedangkan pendekatan di sini lebih esklusif dan tekstual. Dalam teologi Cak Nur, semua agama mempunyai sisi kebenaran masing-masing, selama masih bertitik tolak pada ‘penyerahan diri pada Tuhan’. Teologi eksklusif menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah. (simak buku “Teologi Inklusif Cak Nur”nya Sukidi, Kompas:2000)

[5] Makna jihad mempunyai spektrumnya luas, yaitu langkah-langkah strategis untuk merealisasikan cita-cita agama yang tidak lain adalah menciptakan dunia yang damai. (Din Syamsudin, 2001). Terdapat banyak kekeliruan di kalangan umat Islam tentang pengertian jihad. Kekeliruan pertama ialah tentang makna jihad itu sendiri yang sering dimengertikan sebagai peperangan mengangkat senjata yang membawa kepada pertumpahan darah dan pembunuhan. Yang kedua ialah tentang golongan yang menjadi sasaran jihad atau golongan yang harus diperangi itu.

Akhirnya, terminologi jihad ini mengalami penyempitan makna menjadi perang saja. Padahal, dikenal juga apa yang disebut jihad pada diri sendiri dalam tradisi sufi, atau mujahadah (olah jiwa), dalam tradisi intelektual: ijtihad (olah otak), dan dalam perang: jihad (olah fisik). Namun jika kita kembalikan jihad pada makna aslinya maka tiga pemahaman di atas tercakup pada kata jihad saja. Jadi, jihad tidak selalu identik dengan bentuk fisik (materi), namun juga mencakup perjuangan intelektual, emosional dan spiritual. (Guntur Romli, 2002)

[6] Ini terjadi karena beberapa fenomena di sekitar kita, seperti FPI (dengan aksi sweepingnya), Afghanista dengan gerakan Talibannya, dan Palestina dengan perlawanan Hamasnya.

Sumber : http://dicky_funny.tripod.com/madani.htm

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger