Mulanya, Kabupaten Bandung berada di bawah kekuasaan Mataram namun 19-20 Oktober 1677, Kabupaten Bandung jatuh ke tangan VOC akibat Perjanjian I Mataram-Kompeni. Seiring dengan berakhirnya kekuasaan VOC di Indonesia pada Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Daendels (1808-1811).
Ketika Kab.Bandung dipimpin oleh Bupati R.A.A. Wiranatakusumah II (1794-1829), terjadi pemindahan ibukota kab dari Karapyak yang berada di bagian selatan daerah Bandung ke kota Bandung yang terletak di bagian tengah wilayah tersebut. Saat itu, perubahan kondisi sosial di Bandung termasuk lamban. Perubahan fisik kota Bandung berawal dari peresmian berdirinya kota yang dilakukan oleh Deandels dengan surat keputusan (besluit) tanggal 25 September 1810.
Ada suatu cerita, ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jalan Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jalan Asia Afrika sekarang). Ditempat itu Deandels menancapkan tongkat seraya berkata, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!"(Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!). Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu. Tak heran jika di daerah tersebut cukup banyak dibangun bangunan-bangunan perkantoran, perhotelan dan pertokoan yang sangat indah dan menarik.
Daerah ini telah menjadi pendukung pariwisata yang sangat penting pada waktu itu, bahkan hingga saat MI. Selama ini, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa Kota Bandung didirikan oleh Gubernur Jenderal H. W.Daendels tahun 1810, namun hasil penelitian sejarawan Dr. Sobana Hardjasaputra dalam desertasinya Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906 menyatakan sebaliknya. Kota Bandung didirikan oleh dan atas kebijakan Bupati Bandung keenam, R.A.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Akan tetapi, memang Daendelslah yang mempercepat proses tersebut.Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan Ibukota Keresiden Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856.
Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Dengan adanya perpindahan kota keresidenan ini, Bandung menjadi lebih ramai dan pertumbuhan kotanya sangat hidup, apalagi setelah Bandung dijadikan sebagai pusat transportasi kereta api Jalur Barat.
Masa ini juga menjadi masa keemasan pembangunan fisik kota Bandung. Gedung Pakuan yang kini merupakan kediaman resmi Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat menjadi saksi bisu peristiwa kepindahan tersebut. Pembangunan gedung yang sejak jaman kolonial telah menjadi tempat persinggahan tamu-tamu penting dan tokoh dunia ini dibangun pada tahun 1864 dan berakhir pada 1867. Bentuknya arsitekturnya yang anggun dan monumental menunjukkan langgam Indische Empire Style yang juga diterapkan pada bangunan Sekola Raja yang kini menjadi Kantor Polwiltabes Bandung di Jalan Merdeka (1866).
Hingga waktu itu, kota Bandung dinilai masih gundul dan belum banyak ditumbuhi pepohonan. Hal inilah yang medorong Asisten Wedana Bandung, Pieter Sijthof untuk menggalakkan penghijauan di Bandung. Pada saat itu pula, kota Bandung masih sering dilanda banjir sehingga Bupati R.A.A Martanegara (1893-1918) membangun beberapa irigasi, bendungan air, jembatan dan juga taman seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark),Taman Maluku (Molukenpark), Taman Ganesha (Ijzermanpark) dan sebagainya.
Kota Bandung menjadi jauh lebih berkembang sejak ada rencana pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung. Dengan adanya rencana ini, beberapa pembangunan baik untuk perkantoran maupun tempat tinggal mulai dilakukan. Pembangunan Gedung Sate yang kini berfungsi sebagai Kantor Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat sangat erat kaitannya dengan rencana tersebut. Sebenarnya, pembangunan Gedung Sate hanyalah merupakan bagian kecil atau sekitar 5% dari "Kompleks PusatPerkantoran Instansi Pemerintah Sipil" Hindia Belanda yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi yang disediakan oleh Gemeente Van Bandoeng lewat Raadbesluit yang disahkan pada tanggal 18 Desember1929. Sayangnya, akibat resesi ekonomi (malaise) tahun 1930-an, rencana boyong ibukota negara beserta bangunan-bangunan pemerintah pusat dari Batavia ke Bandung tidak terlaksana. Selain Gedung Sate, ada beberapa gedung yang sudah dirampungkan diantaranya, Hoofdbureau PTT (Kantor Pusat Posdan Giro),Laboratorium dan Museum Geologi serta bangunan Pensioen Fonds (Dana Pensiun) yang kini menjadi gedung DwiWarna.
Sejak tahun 1920an, Kota Bandung mengalami penataan yang lebih komprehensif. Beberapa kawasan perumahan dibangun dengan rancangan yang menarik, misalnya di daerah Cipaganti. Awalnya, daerah ini hanya sampai perempatan Jalan Pasteur namun terus berkembang ke arah utara hingga rumah villa Pangeran Siam yang pada waktu itu disebut Bunderan Siam.
Selain daerah Cipaganti, pembangunan perumahan juga dilakukan di daerahJalan Arjuna, Jalan Riau (R.E Martadinata), di sekitar Gedung Sate, dan lain-lain. Pada tahun ini juga, langgam gaya bandung hotels, tourism, travel, West Java Indonesiaarsitektur art deco mencapai puncaknya sebagai ganti langgam arsitektur Indische Empire Style.
Salah satu diantaranya adalah Gedung Bumi Siliwangi yang kini menjadi Kantor Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Gedung yang dirancang oleh Prof Wolf P. Schoemaker, guru besar arsitektur di Technische Hogeschool, kini InstitutTeknologi Bandung (ITB), memiliki bentuk yang menyerupai kapal laut. Langgam arsitektur art deco lainnya bisadijumpai di sepanjang jalan Braga, berbaur dengan langgam arsitektur lainnya. Beberapa bangunan peninggalan masakolonial lainnya antara lain Masjid Cipaganti di jalan Cipaganti, Gedung Merdeka di jalan Asia Afrika, Gedung Jaarbeursyang pada jaman Belanda digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pasar malam (kini Markas Komando Pendidikandan Latihan (Kodiklat) TNI J1. Aceh), Gereja Kathedral St. Petrus Jl. Merdeka, dan beberapa rumah tinggal di kawasanCiumbeuleuit yang dulunya diperuntukkan sebagai villa dengan sebutan bloemen. Selain itu, masih banyak rumahtinggal peninggalan jaman kolonial maupun rumah tinggal bergaya etnik Cina dan Sunda yang tersebar di seluruh daerah Bandung.
Dari sebuah daerah yang jatuh dari satu tangan penguasa ke tangan penguasa lainnya, kini Bandung telah menjadi ibukota Jawa Barat yang mengalami perkembangan pesat. Jumlah penduduknya meningkat tajam sejak tahun 1950 hingga 1960-an. Fasilitas pendidikan semakin bertambah banyak. Aktivitas ekonomi dan bisnis turut merambahmemasuki kota ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat perbelanjaan maupun factory outlet baik yang berskala besar, sedang hingga yang kecil. Jalan jalannya dipadati mobil-mobil yang jumlahnya terus meningkat sehinggaseringkali menyebabkan kemacetan. Akibatnya, proyek pelebaran jalan sering dilakukan dengan menggusur bangunan-bangunan yang dianggap merintangi. Seperti kota-kota lain yang tengah berkembang, Bandung sarat dengan dinamikadan juga persoalan. Salah satu persoalan penting yang seringkali luput dari perhatian masyarakat dan pemimpin adalahhilangnya benda cagar budaya, dalam hal ini bangunan¬-bangunan kuno yang merupakan saksi sejarah dan penanda(identitas) sekaligus kekayaan kota. Seperti halnya Semarang, Malang, Medan dan Cirebon, dari waktu ke waktu,Bandung kehilangan bangunan kuno yang kaya dengan langgam arsitekturnya mulai dari Neo-Gothic, Art Nouveau, ArtDeco, Fungsionalisme Modem dan lain sebagainya. Dalam satu dekade terakhir sejumlah bangunan hancur tanpa bekas, sebut saja gedung Singer, bangunan pojok berlanggam Art-Deco di Simpang lima, Bioskop Panti karya, bangunan rumah tinggal di Jl. RE Martadinata, bangunan rumah tinggal di Jl. Pagergunung yang dulunya terdiri dari 12 rumah dan sekarang tinggal 8, bangunan di Ciumbeuleuit dan masih banyak lagi lainnya. Sesuai W No.5 tahun 1992,ada beberapa kriteria benda cagar budaya, termasuk di dalamnya bangunan kuno, yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kriteria tersebut yaitu berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Manusia tanpa sejarah akan kehilangan identitasnya. Demikian juga dengan sebuah kota. Perjalanan panjang sejarahnya bisa terlukis lewat kekayaan warisan arsitektur yang menggambarkan perkembangan kebudayaan masyarakatnya.
thanks: lakura
sumber: http://www.kaskus.us
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar