Maha Sunyi
Angin yang menggeser sebagian hati, menggaris sepi yang kemudian jadi nyeri. Entah, pada apa harus berbicara, ketika kata tidak bisa selesai menjelas.
Duduk di kala senja mulai ranum, kuning merona, dan membagi sebagian kelelahan di antara bunyi derat bambu. Membagi senja dan mimpi, dalam dekap hangat alunan kidung malaikat; syahdu.
Kita menggambar rumah, jelita-jelita kecil, buku-buku berdebu, dan sejengkal dapur. Harapan dan pengharapan, hanya pada ketika senja separuh ranum. Apa yang digaris, ketika mimpi dan pengharapan hanya ada pada sebagian dari diri kita yang memang tunduk pada takdir?
#Jelita KecilJelita kecil duduk di pinggir kasur kapuk, menggoyang botol susu, sembari tersenyum tersipu-sipu
Nyatakah kau Nak? Terlahirkah kau dari tulang garba Ibumu?
Atau memang kau serupa jelita kecil dalam ruh malaikat putih yang menari di antara harap dan doa?
Kau serupa anak Jelita kecil yang lahir sebelum ruh ditaruh dalam rahim,
Ibu meminta ujudmu tetap. Pada sejengkal kesadaran yang dimiliki, untuk menjadi waras dan tidak, kau mewujud dalam setiap bulir air mata.
Ibu mencintaimu Nak; Jelita Kecil berambut ikal mayang. Ibu berdoa,
#Epilogue, Konon, rumah yang kita bangun susun menyusun kini menjadi abu, dimakan waktu, dan lelatu penghuni rumah itu.
Rumah yang kau cipta, di mana letak dapur untuk puan memasak, tali ayun tempat mengayun jelita-jelita kecil, dipan di mana rokok menjadi abu, dan derat kasur bambu kini jadi abu.
Jelita kecil hanya sekedar mampir, mengisi kebahagiaan dan ruang harapan. DIhidupi dengan doa, dan harus pergi mengikuti takdir yang di makan waktu.
Kami sendu merenung nasib kala itu.
Betapa Tuhan membuat garis takdir jadi kepastian, dan waktu menjadi bagian paling nyeri. Kami, yang merenung nasib tidak lagi ingin berlari. Rumah itu ada di hati paling dalam, dihidupi selagi kami mampu, dan kita harus berhenti bersedu.
Tuhan, tempat kami mengaduh, tidak boleh gaduhkah Tuhan?
Pada sebagian sepi, air mata menolak takdir, Tuhan, apakah mendengar?
Angin yang menggeser sebagian hati, menggaris sepi yang kemudian jadi nyeri. Entah, pada apa harus berbicara, ketika kata tidak bisa selesai menjelas.
Duduk di kala senja mulai ranum, kuning merona, dan membagi sebagian kelelahan di antara bunyi derat bambu. Membagi senja dan mimpi, dalam dekap hangat alunan kidung malaikat; syahdu.
Kita menggambar rumah, jelita-jelita kecil, buku-buku berdebu, dan sejengkal dapur. Harapan dan pengharapan, hanya pada ketika senja separuh ranum. Apa yang digaris, ketika mimpi dan pengharapan hanya ada pada sebagian dari diri kita yang memang tunduk pada takdir?
#Jelita KecilJelita kecil duduk di pinggir kasur kapuk, menggoyang botol susu, sembari tersenyum tersipu-sipu
Nyatakah kau Nak? Terlahirkah kau dari tulang garba Ibumu?
Atau memang kau serupa jelita kecil dalam ruh malaikat putih yang menari di antara harap dan doa?
Kau serupa anak Jelita kecil yang lahir sebelum ruh ditaruh dalam rahim,
Ibu meminta ujudmu tetap. Pada sejengkal kesadaran yang dimiliki, untuk menjadi waras dan tidak, kau mewujud dalam setiap bulir air mata.
Ibu mencintaimu Nak; Jelita Kecil berambut ikal mayang. Ibu berdoa,
#Epilogue, Konon, rumah yang kita bangun susun menyusun kini menjadi abu, dimakan waktu, dan lelatu penghuni rumah itu.
Rumah yang kau cipta, di mana letak dapur untuk puan memasak, tali ayun tempat mengayun jelita-jelita kecil, dipan di mana rokok menjadi abu, dan derat kasur bambu kini jadi abu.
Jelita kecil hanya sekedar mampir, mengisi kebahagiaan dan ruang harapan. DIhidupi dengan doa, dan harus pergi mengikuti takdir yang di makan waktu.
Kami sendu merenung nasib kala itu.
Betapa Tuhan membuat garis takdir jadi kepastian, dan waktu menjadi bagian paling nyeri. Kami, yang merenung nasib tidak lagi ingin berlari. Rumah itu ada di hati paling dalam, dihidupi selagi kami mampu, dan kita harus berhenti bersedu.
Tuhan, tempat kami mengaduh, tidak boleh gaduhkah Tuhan?
Pada sebagian sepi, air mata menolak takdir, Tuhan, apakah mendengar?
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar